" AKU MENANGIS UNTUK ADIKKU SEBANYAK 6 KALI "

Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku.

Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya, Aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya.


“Siapa yang mencuri uang itu?” Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan, “Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!”

Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi. Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata, “Ayah, aku yang melakukannya! ” Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas. Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi, “Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? … Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!”

Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, “Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi.”
Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11.

Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus.

Saya mendengarnya memberengut, “Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik…hasil yang begitu baik…” Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, “Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?” Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, “Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca banyak buku.”

Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya. “Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!” Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata, “Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya, kkalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini.”

Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas. Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku: “Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang.”

Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20 tahun. Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga (di universitas).
Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan, ” Ada seorang ppenduduk dusun menunggumu di luar sana !” Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, “Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?”

Dia menjawab, tersenyum, “Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu? ” Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, “Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu.”

Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, “Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu.” Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis. Tahun itu, ia berusia 20, Aku 23.
Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku. “Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!” Tetapi katanya, sambil tersenyum, “Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk
membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu.”

Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan mebalut lukanya. “Apakah itu sakit?” Aku menanyakannya. “Tidak, tidak sakit.. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan…” Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku. Tahun itu, adikku 23, Aku berusia 26.

Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan, “Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini.”
Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi. Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit.

Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu, “Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?”

Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya. “Pikirkan kakak ipar–ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan?” Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah: “Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!”

“Mengapa membicarakan masa lalu?” Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29.

Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, “Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?” Tanpa bahkan berpikir ia menjawab, “Kakakku.”

Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat. “Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, Saya kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya.”

Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku. Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, “Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku.” Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.


Thank for All sahabat terbaik..

Tabe'

__Och@__

Aku adalah perempuan, makluk Tuhan yang diciptakan sempurna. Membaca tubuhku, yang bervagina serta berpayudara, yang mengalami periode menstruasi tiap bulan, serta mempunyai kantong rahim yang terbatas usianya. Aku pun menyusui seorang bayi yang dinamai anak. Aku adalah perempuan, gadis kecil yang tumbuh menjadi perawan, perempuan dewasa yang berkeinginan menikah dan mendapat “gelar” istri, Ibu, Bunda, Mama, bahkan Nenek. Fluktuasi fase kehidupan, yang sudah direncanakan sejak masih janin dalam kandungan.

Aku adalah perempuan. Beberapa mitos yang ditemukan dalam realitas tatanan masyarakat tradisional, terkadang membentuk suatu ketidak-adilan. Adanya Maternal, dalam ranah Patriarki, bukan berarti para feminis membenci laki-laki toh sudah terbukti, beberapa feminis sudah dinikahi.
Lagi-lagi, banyaknya kesan “di” pada perempuan, membuat sedikit gerah rasanya bila harus diartikan pasif. Saya, adalah perempuan bugis yang masih konservatif, sempat menolak untuk bersikap pasrah "pada laki-laki, tapi masih saja terbentur beberapa opini dan bentukan tradisi / adat. Lalu, bagaimana "dengan para perempuan Minang, dalam menyikapi hirarki matrilineal yang masih sangat kental.Adakah suatu ketimpangan nantinya, saat si perempuan lebih tua, beberapa nilai material yang berbeda nominal, atau malah, perpaduan dua adat yang sangat berbeda.

Perempuan, menyimpan banyak kejutan. Laki-laki pun mungkin demikian. Pemikiran dan sikap, hirarki yang ditemui dalam realitas masayarakat yang dominan patrilineal, serta anggapan-anggapan yang “menyakitkan”, semoga semakin mempercantik para perempuan. Tidak hanya mewarisi ayu si perempuan, tapi juga cerdas, tanggap, serta paham akan hak dan kewajibannya. Tidak melulu sebagai istri yang siap siaga menyajikan makanan setiap saat, sosok Bunda yang penyayang dan nyaman, ngemong anak-anak meski kenakalan mereka harus berbuntut pengertian dan pemakluman, mencintai suami dengan sabar dan setia, juga menerima dan hormat karena tergiur “pahala”. Baik dan sangat benar, bila menyanggupi dan setuju untuk berperan demikian. Hanya saja, apa yang tidak salah dan tidak benar bila merasa lelah dengan segala kewajiban (bahkan hak). Saya jadi berpikir, mungkinkah ranah patriarki membolehkan suami mencuci, membuatkan secangkir teh atau kopi, lengkap dengan kudapan favorit istri, mengurus rumah tangga dan mengatasi anak-anak yang bandelnya tak kunjung berhenti ? Apakah ranah patriarki membolehkan laki-laki untuk menangis ???

Dan aku adalah perempuan yang diciptakan berpasangan dengan laki-laki.Akupun bersuami, hamil dan melahirkan bersama suami yang berkelamin laki-laki. Sisi feminisku memang sempat protes atas hirarki dan kejahatan ”personal” oleh oknum laki-laki, sempat membenci, sebagai bentuk sikap berhati-hati supaya tidak dikorbankan lagi. Sampai akhirnya, Tuhan memberikan kebahagiaan dari ayah, kakak, dan sahabat dekat yang juga berstatus laki-laki. Bukti lainnya bahwa aku tidak membenci laki-laki, adalah aku sedang berpasangan dengan seorang laki-laki.

Perempuan tidaklah hanya bersifat selebrasi. Lepas dari naluri rumpi or bgosip, logika yang sering berbenturan dengan perasaan yang berlebih, sabar dan setianya dalam mencintai, marah dan ketakutannya yang menjadi “virus feminis”, perempuan tetap cantik, cantik yang dilengkapi oleh nalar, juga sikap dan batin.

MAT HARI KARTINI PEREMPUAN2 PERKASA...


Tabe'

__Och@__

Kutelusuri jejak tak bertepi
Mengungguli rentetan kisah bergaris di lingkaran bumi
Kutemukan sunyi berbincang di tengah langit
Tak ada yang sejati selain diri-Mu
Tak ada yang kekal selain Dzat-Mu


Ilahi..
Ampunkan diri dengan ketinggian hati dan pikirku
Selama jarak tak bertuju enggan hati terbuai dengan kehampaan
Begitu sepi, sendu hingga senyawa dan semesta tak ingin tahu
Hingga terkuak tabir kenistaanku...


Lelah bersulang dengan fatamorgana
Yang berakhir sesak dan pilu
Terkadang letih, terkadang jatuh
Menggunungkan mimpi dalam terjalnya kenyataan


Begitu ingin melepaskan balutan dilema
Yang menghimpit sesak rongga nafasku
Mengapa selalu saja terjadi
Terbuai dalam rasa yang berkepanjangan


Sebutan apa yang pantas untukku
Akankah Ghaffar-Mu
Akankah Rahim-Mu
Akankah Rahman-Mu
Menyeruak dan menyusutkan dosa-dosaku


Kuhadapkan wajahku
Menghadap atas tujuh petala langit
Tuhanku...
Inginku menghadap kembali pada-Mu
Karena jiwa ini telah luruh atas segala kesakitan
Batin ini duka dalam sayatan masa yang tak berpihak
Hingga akhirnya bersemayam dalam tanah yang berongga...


Tabe'

__Och@__

Suatu malam, seorang wanita sedang menunggu di bandara. Masih ada beberapa jam sebelum jadwal terbangnya tiba. Untuk menunggu waktu, ia membeli buku dan sekantong kue di toko bandara, lalu menemukan tempat untuk duduk, sambil duduk wanita tersebut membaca buku yang baru saja dibelinya.

Dalam keasyikannya tersebut ia melihat lelaki di sebelahnya dengan begitu berani mengambil satu atau dua kue yang berada diantara mereka. Wanita tersebut mengabaikan agar tidak terjadi keributan. Ia membaca, mengunyah kue dan melihat jam. Sementara si pencuri kue yang berani menghabiskan persediaannya.

Ia semakin kesal sementara menit-menit berlalu. Wanita itupun sempat berfikir kalau aku bukan orang baik sudah ku tonjok dia!

Setiap ia mengambil satu kue, si lelaki mengambil satu. Ketika hanya satu kue tersisa, ia bertanya-tanya apa yang akan dilakukan lelaki itu. Dengan senyum tawa di wajahnya, si lelaki mengambil kue terakhir dan membaginya dua. Si lelaki menawarkan separuh kue tersebut, sementara ia memakan yang separuhnya lagi.

Si wanita pun merebut kue itu dan berfikir, Ya ampun orang ini berani sekali, dan dia juga kasar, malah dia tidak kelihatan berterima kasih. Belum pernah rasanya ia begitu kesal. Ia menghela nafas lega saat penerbangannya diumumkan. Ia mengumpulkan barang miliknya dan menuju pintu gerbang. Menolak untuk menoleh kepada si pencuri kue yang tak tahu terima kasih.

Ia naik pesawat dan duduk di kursinya, lalu mencari bukunya yang hampir selesai di bacanya. Saat ia merogoh tasnya, ia menahan nafas dengan kaget. Di situ ada kantong kuenya, di depan matanya. kok milikku ada di sini, erangnya dengan patah hati, jadi kue tadi adalah miliknya dan dia coba berbagi.
Terlambat untuk meminta maaf, ia tersadar sedih. Bahwa sesungguhnya dialah yang kasar, tak tahu terima kasih dan dialah si pencuru kue itu.

Dalam hidup ini, kisah pencuri kue seperti tadi sering terjadi. Kita sering berprasangka dan melihat orang lain dengan kacamata kita sendiri/ subjektif serta tak jarang kita berprasangka buruk terhadapnya.

Orang lainlah yang selalu salah, orang lainlah yang patut disingkirkan, orang lainlah yang tidak tahu diri, orang lainlah yang berdosa, orang lainlah yang bikin masalah, orang lainlah yang pantas diberi pelajaran, padahal kita sendiri yang mencuri kue tadi.

Padahal kita sendiri yang tidak tahu. Kita sering mempengaruhi, mengomentari, mencemooh pendapat, penilaian atau gagasan orang lain, sementara sebetulnya kita tidak tahu betul permasalahannya....


Tabe'

__Och@__

Lirik tak bertuan kembali kunyanyikan
Saat sendamu sorak mengumandang digendang hati yang menderu
Kuuntai sajak di diari putih tergambar siluet wajahmu
Kutarik garis senyuman di ungkapan katamu


Aku bahagia bersama mimpi yang terjaga
Aku bahagia dengan lekatnya suara terngiang di telingaku
Ada tawamu, ada katamu, ada nafasmu, ada cintamu…
Membuai diri dalam hamparan laut berpasir putih


Rangkaikan bunga untuku di kota Daeng
Nikmati sunset berdua di Losari
Yakinkan sebentuk keinginan itu menjadi satu dalam langkahmu
Biar tergerak menuju wajah yang mendamaikan hatimu
Engkau anggap aku segala bagimu
Memenuhi rongga nafasmu dan aliran darahmu


Temui aku di timur Jawa
Hantarkan aku tuk pandangi kokohnya Borobudur
Habiskan hari di senjanya Malioboro
Tak lepas genggamanmu erat
Dan berharap..
Suatu saat masa akan berpihak


Selamat menempuh hari-hari
Dalam rutinitas dan keletihanmu
Namun harapku…
Jangan lepaskan aku
Meski dalam alam pikirmu…


Tabe’

__Och@__

Lelakiku adalah orang yang berhati mulia, sangat baik, sosok yang hampir sempurna bagi tiap perempuan yang mendambakan lelaki, aku mencintainya karena kesederhanaan dan ketulusan yang dimilikinya, terasa damai ketika aku bersandar di dadanya, memeluknya dengan kehangatan cinta.

Dua tahun dalam proses pendekatan kami lalui dengan berbagai romansa, tiga tahun berjalan hingga sekarang dalam pernikahan bergelut dalam berjuta persoalan yang dulunya tak terbayangkan, kemudian harus aku akui perasaan lelah mulai menggerogoti, mungkin karena berjumpa dengan persoalan yang selalu sama dan tak pernah terselesaikan, hanya mengambang dan menyisakan pertanyaan dan kegelisahan. Alasan-alasan aku mencintainya dulu kemudian pudar dan menjadi hal yang sebatas kewajiban saja.

Saya seorang wanita yang sensitif dan mudah untuk tersinggung, begitu manja dan merindukan saat-saat romantis seperti perlakuan aktor film yang mencintai kekasihnya dengan sekuntum bunga dan kata-kata indah yang mampu membuat hati wanita melayang, lilin menyala dalam heningnya makan berdua di sudut restoran wah…

Suami aku jauh berbeda dari yang aku harapkan, dia kurang sensitif dan sangat sulit untuk menciptakan suasana romantis dalam perkawinan kami, bahkan di momen berharga kami seperti ulang tahunku atau ulang tahun pernikahan. Dan tiba-tiba semua itu membuat aku berfikir ternyata dia bukan lelaki yang aku idamkan dan ideal di kehidupanku.

Hingga suatu hari saat perasaan murka telah merajai, aku memberanikan diri untuk mengambil keputusan yang tak pernah disangkanya akan aku ajukan. aku memintanya menceraikanku.

Hanya kata “Mengapa?”, yang terlontar dai keterkejutannya.

“Aku begitu lelah, lelah dengan semua persoalan yang mendera kita, aku tidak mampu lagi hidup terus seperti ini denganmu, kamu tidak mampu memberikan ketenangan atas semua kegundahan dihidupku” jawabku dengan suara yang bergetar

Suamiku hanya mampu terdiam dan termenung sepanjang malam di depan komputernya, seolah-olah sedang menyelesaikan tugas kantornya, tetapi ternyata tidak, tatapannya hampa seperti sedang memandangi sesuatu yang tak mampu dijangkau oleh hati dan pikirannya.

Kekecewaanku kemudian semakin bertambah, mengapa dia hanya terdiam, mengapa dia tidak mengungkapkan ketidak setujuannya jika memang dia tidak menginginkan keputusan itu, mengapa dia tidak mengekspresikan perasaannya, apa yang harus aku harapkan dari seseorang yang tak mampu untuk membuat keputusan yang terpenting dihidupnya.

Dan akhirnya suatu malam suamiku bertanya kepadaku, “Apa yang dapat aku lakukan untuk merubah pikiranmu dek?”

Aku hanya menatap matanya dalam-dalam dan menjawab dengan pelan,” Aku punya pertanyaan, jika engkau dapat menemukan jawabannya akan merubah keputusanku

“Seandainya aku memasakkan makanan kesukaanmu, tetapi ternyata dalam makanan itu tak sengaja aku masukkan udang yang tidak engkau sukai karena aku lupa, namun engkau tahu aku telah membuatnya dengan susah payah dan engkau tahu jika makanan itu engkau makan maka engkau akan merasa sakit. Apakah kamu akan tetap memakan makanan itu?

Suamiku hanya termenung dan hanya mampu berkata, ” Aku akan memberikan jawabannya besok.”

Perasaan aku begitu gundah mendengar jawabannya.

Keesokan harinya, saat aku terbangun aku tidak menemukannya di sampingku, diapun tidak ada di rumah, dan aku hanya menemukan layar laptop yang bertuliskan sesuatu, kuperhatikan dengan seksama dan ternyata ada tulisan darinya.

” Ade, aku tidak akan memakan masakan yang ade telah buat itu, tetapi ijinkan aku untuk menjelaskan alasannya.”

Saat membaca pembuka tulisan itu hatiku rasanya hancur, namun kukuatkan untuk terus membacanya

“Ade selalu merasa sakit di perut saat datang bulan, dan aku harus memberikan balsem untuk mengurut perutmu dengan balsem agar kamu merasa nyaman”

“Saat ade tidak beraktifitas dan hanya diam di rumah, aku khawatir kamu akan merasa sepi. akupun berinisiatif untuk membelikan sesuatu yang dapat menghibur kamu di rumah atau meminjamkan mataku agar engkau dapat menonton hal-hal lucu di kehidupan manusia.

” Ade selalu begitu dekat jika telah menulis sesuatu di hadapan monitor, terlalu dekat membaca
buku, dan itu tidak baik untuk kesehatan mata ade. Aku harus menjaga matamu agar ketika kita tua nanti, kamu mampu melihatku masih tetap menarik seperti dulu, dan aku masih dapat menolong mengguntingkan kuku kamu dan mencabuti uban kamu.”

“Tanganku akan memegang tangan kamu, membimbing kamu menelusuri losari, menikmati sunset di saat senjanya hari.

Menceritakan warna-warni pelangi yang bersinar begitu cantiknya, secantik wajahmu.

Tetapi Ade, aku tidak akan memakan masakan yang telah engkau buat dengan susah payah, bukan karena tidak ingin tetapi karena aku tahu engkau tidak akan membiarkanku sakit dan aku tak akan mampu melihatmu menangis karena merasa bersalah atas yang telah engkau buat.

“Sayang, aku tahu, ada banyak orang yang bisa mencintaimu lebih dari aku mencintaimu. Untuk itu Sayang, jika semua yang telah saya berikan seperti tanganku, kakiku, mataku tidak cukup buat kamu, aku tidak mampu menahan kamu lagi untuk mencari tangan, kaki, dan mata lain yang lebih membahagiakan kamu.”

Tak terasa ada yang tergenang di mataku dan terus jatuh, tetapi aku tetap berusaha untuk terus membacanya.

“Dan sekarang, ade… kamu telah selesai membaca semua alasan-alasanku.

Jika ade puas dengan semua jawaban itu, dan tetap menginginkan aku untuk tetap tinggal bersamamu di rumah ini, tolong bukakan pintu rumah kita, aku sedari malam berdiri disini menunggu jawaban kamu.”

“Jika ade tidak puas dengan jawabanku itu, biarkan aku masuk untuk mengambil barang-barang, dan menginap di rumah temanku, aku tidak akan mempersulit hidup kamu de…., Ade harus percaya bahagiamu adalah bahagiaku juga.”

Aku segera berlari membuka pintu dan melihatnya berdiri di depan pintu dengan wajah yang tertunduk dan di tangannya menggenggam sekuntum mawar putih dan sekotak tart kesukaanku.

Aku segera memeluknya menangis sejadi-jadinya, dan tak berharap lagi melepaskannya di hidupku.

Kini baru aku sadari, tidak ada seseorang yang mencintaiku lebih dari cintanya..

Cinta adalah peleburan ego dimana tak ada lagi keinginan selain dirinya…

Cinta adalah kesederhanaan…

Tak ada lagi senyum terindah selain senyumannya, serta perihnya luka saat melihat tangisannya

Dan aku sadar..bahwa dialah lelaki yang terindah di hidupku, sekarang, nanti dan selamanya.


Tabe’

__Och@__

Dikisahkan, di sebuah pesta perpisahan sederhana pengunduran diri seorang direktur. Diadakan sebuah sesi acara penyampaian pesan, kesan, dan kritikan dari anak buah kepada mantan atasannya yang segera memasuki masa pensiun dari perusahaan tersebut. Karena waktu yang terbatas, kesempatan tersebut dipersilahkan dinyatakan dalam bentuk tulisan.

Diantara pujian dan kesan yang diberikan, dipilih dan dibingkai untuk diabadikan kemudian dibacakan di acara tersebut, yakni sebuah catatan dengan gaya tulisan coretan dari seorang office boy yang telah bekerja cukup lama di perusahaan itu.

Dia menulis semuanya dengan huruf kapital sebagai berikut, "Yang terhormat Pak Direktur. Terima kasih karena Bapak telah mengucapkan kata "tolong", setiap kali Bapak memberi tugas yang sebenarnya adalah tanggung jawab saya. Terima kasih Pak Direktur karena Bapak telah mengucapkan "maaf", saat Bapak menegur, mengingatkan dan berusaha memberitahu setiap kesalahan yang telah diperbuat karena Bapak ingin saya merubahnya menjadi kebaikan.

Terima kasih Pak Direktur karena Bapak selalu mengucapkan "terima kasih" kepada saya atas hal-hal kecil yang telah saya kerjakan untuk Bapak.Terima kasih Pak Direktur atas semua penghargaan kepada orang kecil seperti saya sehingga saya bisa tetap bekerja dengan sebaik-baiknya, dengan kepala tegak, tanpa merasa direndahkan dan dikecilkan.

Dan sampai kapan pun bapak adalah Pak Direktur buat saya. Terima kasih sekali lagi. Semoga Tuhan meridhoi jalan dimanapun Pak Direktur berada. Amin."

Setelah sejenak keheningan menyelimuti ruangan itu, serentak tepuk tangan menggema memenuhi ruangan. Diam-diam Pak Direktur mengusap genangan airmata di sudut mata tuanya, terharu mendengar ungkapan hati seorang office boy yang selama ini dengan setia melayani kebutuhan seluruh isi kantor.

Pak Direktur tidak pernah menyangka sama sekali bahwa sikap dan ucapan yang selama ini dilakukan, yang menurutnya begitu sederhana dan biasa-biasa saja, ternyata mampu memberi arti bagi orang kecil seperti si office boy tersebut. Terpilihnya tulisan itu untuk diabadikan, karena seluruh isi kantor itu setuju dan sepakat bahwa keteladanan dan kepemimpinan Pak Direktur akan mereka teruskan sebagai budaya di perusahaan itu.

Tiga kata "terimakasih, maaf, dan tolong" adalah kalimat pendek yang sangat sederhana tetapi mempunyai dampak yang positif. Namun mengapa kata-kata itu kadang sangat sulit kita ucapkan? Sebenarnya secara tidak langsung telah menunjukkan keberadaban dan kebesaran jiwa sosok manusia yang mengucapkannya. Apalagi diucapkan oleh seorang pemimpin kepada bawahannya.

Pemimpin bukan sekedar memerintah dan mengawasi, tetapi lebih pada sikap keteladanan lewat cara berpikir, ucapan, dan tindakan yang mampu membimbing, membina, dan mengembangkan yang dipimpinnya sehingga tercipta sinergi dalam mencapai tujuan bersama.

Tentu bagi siapapun kita perlu membiasakan mengucapkan kata-kata pendek seperti terima kasih, maaf, dan tolong dimana pun, kapan pun, dan dengan siapa pun kita berhubungan. Dengan mampu menghargai orang lain minimal kita telah menghargai diri kita sendiri.

Mudah2an 3(tiga) suku kata " Maaf, Tolong dan Terimakasih " bermanfaat bagi kita semua.

Tabe'

__Och@__

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda