Aku adalah perempuan, makluk Tuhan yang diciptakan sempurna. Membaca tubuhku, yang bervagina serta berpayudara, yang mengalami periode menstruasi tiap bulan, serta mempunyai kantong rahim yang terbatas usianya. Aku pun menyusui seorang bayi yang dinamai anak. Aku adalah perempuan, gadis kecil yang tumbuh menjadi perawan, perempuan dewasa yang berkeinginan menikah dan mendapat “gelar” istri, Ibu, Bunda, Mama, bahkan Nenek. Fluktuasi fase kehidupan, yang sudah direncanakan sejak masih janin dalam kandungan.

Aku adalah perempuan. Beberapa mitos yang ditemukan dalam realitas tatanan masyarakat tradisional, terkadang membentuk suatu ketidak-adilan. Adanya Maternal, dalam ranah Patriarki, bukan berarti para feminis membenci laki-laki toh sudah terbukti, beberapa feminis sudah dinikahi.
Lagi-lagi, banyaknya kesan “di” pada perempuan, membuat sedikit gerah rasanya bila harus diartikan pasif. Saya, adalah perempuan bugis yang masih konservatif, sempat menolak untuk bersikap pasrah "pada laki-laki, tapi masih saja terbentur beberapa opini dan bentukan tradisi / adat. Lalu, bagaimana "dengan para perempuan Minang, dalam menyikapi hirarki matrilineal yang masih sangat kental.Adakah suatu ketimpangan nantinya, saat si perempuan lebih tua, beberapa nilai material yang berbeda nominal, atau malah, perpaduan dua adat yang sangat berbeda.

Perempuan, menyimpan banyak kejutan. Laki-laki pun mungkin demikian. Pemikiran dan sikap, hirarki yang ditemui dalam realitas masayarakat yang dominan patrilineal, serta anggapan-anggapan yang “menyakitkan”, semoga semakin mempercantik para perempuan. Tidak hanya mewarisi ayu si perempuan, tapi juga cerdas, tanggap, serta paham akan hak dan kewajibannya. Tidak melulu sebagai istri yang siap siaga menyajikan makanan setiap saat, sosok Bunda yang penyayang dan nyaman, ngemong anak-anak meski kenakalan mereka harus berbuntut pengertian dan pemakluman, mencintai suami dengan sabar dan setia, juga menerima dan hormat karena tergiur “pahala”. Baik dan sangat benar, bila menyanggupi dan setuju untuk berperan demikian. Hanya saja, apa yang tidak salah dan tidak benar bila merasa lelah dengan segala kewajiban (bahkan hak). Saya jadi berpikir, mungkinkah ranah patriarki membolehkan suami mencuci, membuatkan secangkir teh atau kopi, lengkap dengan kudapan favorit istri, mengurus rumah tangga dan mengatasi anak-anak yang bandelnya tak kunjung berhenti ? Apakah ranah patriarki membolehkan laki-laki untuk menangis ???

Dan aku adalah perempuan yang diciptakan berpasangan dengan laki-laki.Akupun bersuami, hamil dan melahirkan bersama suami yang berkelamin laki-laki. Sisi feminisku memang sempat protes atas hirarki dan kejahatan ”personal” oleh oknum laki-laki, sempat membenci, sebagai bentuk sikap berhati-hati supaya tidak dikorbankan lagi. Sampai akhirnya, Tuhan memberikan kebahagiaan dari ayah, kakak, dan sahabat dekat yang juga berstatus laki-laki. Bukti lainnya bahwa aku tidak membenci laki-laki, adalah aku sedang berpasangan dengan seorang laki-laki.

Perempuan tidaklah hanya bersifat selebrasi. Lepas dari naluri rumpi or bgosip, logika yang sering berbenturan dengan perasaan yang berlebih, sabar dan setianya dalam mencintai, marah dan ketakutannya yang menjadi “virus feminis”, perempuan tetap cantik, cantik yang dilengkapi oleh nalar, juga sikap dan batin.

MAT HARI KARTINI PEREMPUAN2 PERKASA...


Tabe'

__Och@__

0 Comments:

Post a Comment



Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda