Perempuan berkaca

Saya adalah perempuan, makluk Tuhan yang diciptakan sempurna. Membaca tubuh saya, yang bervagina serta berpayudara, yang mengalami periode menstruasi tiap bulan, serta mempunyai kantong rahim yang konon terbatas usianya. Saya pun akan menyusui seorang bayi yang dinamai anak. Saya adalah perempuan, gadis kecil yang tumbuh menjadi perawan, perempuan dewasa yang berkeinginan menikah dan mendapat “gelar” istri, Ibu, Bunda, Mama, bahkan Nenek. Fluktuasi fase kehidupan, yang sudah direncanakan sejak masih janin dalam kandungan.

Saya adalah perempuan. Beberapa mitos yang ditemukan dalam realitas tatanan masyarakat tradisional, terkadang membentuk suatu ketidak-adilan. Adanya Maternal, dalam ranah Patriarki, bukan berarti para feminis membenci laki-laki toh sudah terbukti, beberapa feminis sudah dinikahi.
Lagi-lagi, banyaknya kesan “di”pada perempuan, membuat sedikit gerah rasanya bila harus diartikan pasif. Saya, adalah perempuan bugis yang masih konservatif, sempat menolak untuk bersikap pasrah pada laki-laki, tapi masih saja terbentur beberapa opini dan bentukan tradisi / adat. Lalu, bagaimana dengan para perempuan Minang, dalam menyikapi hirarki matrilineal yang masih sangat kental.Adakah suatu ketimpangan nantinya, saat si perempuan lebih tua, beberapa nilai material yang berbeda nominal, atau malah, perpaduan dua adat yang sangat berbeda.

Memprihatinkan, dalam tradisi Budha, perempuan dianggap sebagai makhluk kotor yang suka menggoda laki-laki yang ingin menjadi suci. Ironisnya, laki-laki dianggap tidak memiliki kesalahan meskipun mereka jatuh dalam godaan. Sehingga perempuan tidak bisa menjadi Brahma (pencipta, dewa tertinggi), Sakraa Dernam Indra (dewa pelindung kaum Budha), Mera (seta penghancur kehidupan dan kemauan manusia) Seluruh dewa dalam tradisi Budha harus laki-laki. Perempuan ideal adalah sati, yaitu perempuan yang menikah dan berkorban untuk menyelamatkan suami. Bagi bangsa India, dalam aturan Manu, perempuan diposisikan hanya sebagai pelayan bagi suami dan ayahnya. Kesetiaan istri kepada suaminya, ditunjukkan dengan istri mengikuti suaminya yang meninggal dunia dengan membakar diri atau dikubur hidup-hidup. Hmmm, short of something reasonable (FEMINISME dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam”, 2004:23).

Perempuan, menyimpan banyak kejutan. Laki-laki pun mungkin demikian. Pemikiran dan sikap, hirarki yang ditemui dalam realitas masayarakat yang dominan patrilineal, serta anggapan-anggapan yang “menyakitkan”, semoga semakin mempercantik para perempuan. Tidak hanya mewarisi ayu si perempuan, tapi juga cerdas, tanggap, serta paham akan hak dan kewajibannya. Tidak melulu sebagai istri yang siap siaga menyajikan makanan setiap saat, sosok Bunda yang penyayang dan nyaman, ngemong anak-anak meski kenakalan mereka harus berbuntut pengertian dan pemakluman, mencintai suami dengan sabar dan setia, juga menerima dan hormat karena tergiur “pahala”. Baik dan sangat benar, bila menyanggupi dan setuju untuk berperan demikian. Hanya saja, apa yang tidak salah dan tidak benar bila merasa lelah dengan segala kewajiban (bahkan hak). Saya jadi berpikir, mungkinkah ranah patriarki membolehkan suami mencuci, membuatkan secangkir teh atau kopi, lengkap dengan kudapan favorit istri, mengurus rumah tangga dan mengatasi anak-anak yang bandelnya tak kunjung berhenti? Apakah ranah patriarki membolehkan laki-laki untuk menangis???

Dan saya, adalah perempuan yang diciptakan berpasangan dengan laki-laki.saya pun akan bersuami, hamil dan melahirkan bersama suami yang berkelamin laki-laki. Sisi feminis saya memang sempat protes atas hirarki dan kejahatan ”personal” oleh oknum laki-laki, sempat membenci, sebagai bentuk sikap berhati-hati supaya tidak dikorbankan lagi. Sampai akhirnya, Tuhan memberikan kebahagiaan dari ayah, kakak, dan sahabat dekat yang juga berstatus laki-laki. Bukti lainnya bahwa saya tidak membenci laki-laki, adalah saya sedang berpasangan dengan seorang laki-laki.

Perempuan tidaklah hanya bersifat selebrasi. Lepas dari naluri rumpi, logika yang sering berbenturan dengan perasaan yang berlebih, sabar dan setianya dalam mencintai, marah dan ketakutannya yang menjadi “virus feminis”, perempuan tetap cantik, cantik yang dilengkapi oleh nalar, juga sikap dan batin.


__Och@__

0 Comments:

Post a Comment



Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda